Review Film: Handsome Devil (2016)

 

source: netflix.com


Halo, udah lama banget saya nggak nulis di sini ternyata. Kangen juga nulis entri di blog, dan karena kebetulan kemarin saya baru aja nonton film, mungkin saya bisa nulis resensinya sekalian nambahin konten di blog ini biar tidak mati-mati amat. 

Sebenarnya ini film lama, teman-teman. Rilis tahun 2017. Sialnya saya baru nemu aja dan ternyata bagus banget---setidaknya menurut saya. Meski rasanya kayak udah telat seratus tahun, saya tulis aja review ini buat kalian yang  kalau-kalau belum pernah nonton dan kebetulan tertarik pada genre LGBTQ+, bromance, boyslove, dan sebagainya. Meskipun ya, sebenarnya film ini bukan tentang gay relationship atau semacamnya tetapi lebih ke ... gay identity? Ya, dan male-friendship.

Juga, beberapa website menyebutkan kalau yang dibahas di dalam film ini tidak termasuk ke jenis coming-out story tetapi bagi saya sendiri tema coming-out rasanya masih lumayan cocok untuk mendeskripsikan isi film ini.

Kalau ingin nonton versi resmi tersedia di Netflix. Kalau cari versi yang ilegal tersedia di mana-mana ahah (jk.) silakan cari sendiri saja ya.

 

Judul
Handsome Devil
Tanggal rilis
21 April 2017 (Irlandia)
Durasi
95 menit
Genre
Teen, Drama, Sport, Comedy
Sutradara
John Butler
Negara
Irlandia
Distributor
Icon Film Distributor




Pemeran



picture source: imdb.com

Fionn O'Shea sebagai Ned Roche


 source: pinterest.com

Nicholas Galitzine sebagai Conor Masters


source: themoviedb.org

Andrew Scott sebagai Dan Sherry



source: m.imdb.com

Moe Dunford sebagai Pascal O'Keffee



Masih ada banyak pemeran yang lain, tapi tentu saja mereka berempat di atas yang paling banyak screen time-nya dan jadi kunci untuk memahami alur cerita.




Sinopsis


Cerita dimulai dengan narasi kesal dari Ned Roche mengenai bagaimana ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu kemudian ayahnya menikah lagi dan pindah ke Dubai sementara Ned tinggal di Irlandia dan dikirim ke sebuah sekolah asrama putra, yaitu Wood Hill College. Wood Hill ini tampaknya adalah sekolah asrama elit yang menjunjung tinggi olahraga rugbi dan sering memenangkan kejuaraan setidaknya sampai sedekade silam. Jadi, mereka sudah lama tidak menang kompetisi dan berusaha luar biasa keras untuk kembali menyabet gelar juara. 

Ned sendiri menyebut bahwa Wood Hill adalah "a school where rugby is a religion" dan demikian tepat sasaran menggambarkan betapa sekolah ini sangat terobsesi dengan rugbi. Ned sendiri tidak menyukai rugbi (dan, sebenarnya, semua olahraga secara umum). Dari profil Ned sendiri terlihat jelas bahwa dia arketipe sasaran bully di setiap cerita anak SMA. Kurus, pucat, tidak atletis, lebih suka membaca-menulis, geek terhadap musik-musik jadul, belum lagi dia berambut merah. Dan benar, dia memang sering dirundung di sekolah, terutama oleh anak-anak rugbi. Ia sering diejek sebagai homo/gay/faggot/queer karena dianggap kurang maskulin. Hal ini membuat Ned selalu punya keinginan untuk di-drop out saja dari sekolah, sayangnya ia tidak senakal itu untuk sampai berbuat sesuatu yang membuat ia berpotensi untuk dikeluarkan.

Alur berlanjut dengan kedatangan Conor Masters sebagai murid baru. Dia ditransfer dari sekolah lama karena katanya sering terlibat perkelahian. Conor ditempatkan sekamar dengan Ned. Conor ini jago main rugbi dan dengan cepat menjadi andalan di tim rugbi sekolah. Anak-anak rugbi yang mendapati bahwa Conor berbagi kamar dengan Ned memperingatkan Conor untuk hati-hati. Mereka bilang Ned adalah homo dan jangan sampai Conor kena serang olehnya. Ned yang mendengar hal ini kesal dan langsung membuat semacam "Tembok Berlin" sebagai pembatas antar kasurnya dan kasur Conor.

Di sisi lain, Conor tampaknya tidak terlalu mempermasalahkan apakah Ned gay atau tidak. Conor dan Ned mulai dekat ketika mereka membahas musik jadul yang liriknya diplagiasi Ned untuk menulis esai yang ditugaskan Mr.Sherry, guru bahasa Inggris mereka. Seiring waktu Ned dan Conor semakin menjadi teman baik. Anak-anak rugbi juga jadi tidak lagi merundung Ned karena mereka tahu Ned berteman dengan Conor. Ned juga akhirnya memutuskan untuk meruntuhkan Tembok Berlin di kamar mereka.

Karena Ned dan Conor sangat dekat dan Mr.Sherry sering melihat mereka menyanyikan lagu jadul bersama, suatu waktu mereka didaftarkan untuk mengikuti semacam pementasan bakat oleh Mr.Sherry. Mereka diminta untuk bermain gitar dan berduet. Hal ini yang kemudian akan menjadi masalah karena Conor jadi lebih sering latihan musik bersama Ned dan agaknya sedikit mengabaikan latihan rugbi. 

Mr. Pascal, pelatih tim rugbi di Wood Hill, tidak menyukai hal tersebut dan meminta Weasel (salah satu anggota rugbi) untuk menjauhkan Conor dan Ned. Ned dianggap sebagai pengaruh yang buruk bagi Conor. Pascal tidak suka jika murid bimbingannya melakukan sesuatu yang dianggapnya feminin, seperti bermain musik, apalagi sampai mengabaikan latihan rugbi untuk persiapan mereka bermain di semifinal nantinya. 

Weasel mencoba memperingatkan Conor, bahkan sampai melakukan blackmail tentang akan menyebarkan rumor mengenai masa lalu Conor. Hal ini yang kemudian akan membuat Ned dan Conor berkonflik.





Ulasan Pribadi


[! - the following content contain spoiler - !]



Saya suka film ini dan heran kenapa baru menemukannya kemarin (dasar kudet saya memang). 

Saya suka watak Ned, yang meskipun dia adalah karakter yang nerdy secara tampilan fisik dan apa yang disukainya, dia tetap punya common sense untuk mencoba melawan ketika anak-anak rugbi itu sudah sampai bermain fisik ketika merundungnya. Mentalnya terbilang kuat sih. Tidak pasrahan orangnya. Saya juga suka responnya ketika Conor bertanya apakah dia benar-benar gay atau bukan. Ned dengan sarkas menjawab kalau Conor tidak perlu takut akan diterjang di malam hari.

Dan juga sebenarnya, setelah saya pikir-pikir lagi, Ned tidak pernah benar-benar punya adegan ataupun pernyataan yang jelas mengenai seksualitasnya, apakah dia gay atau bukan. Orang-orang di sekolah menyebut dia faggot atau homo sepertinya lebih kepada stereotipe bahwa Ned terlihat lemah, feminin, lebih suka seni daripada olahraga. Oke, Ned punya poster dua laki-laki berciuman di dindingnya tapi tentu saja itu bukan jaminan mengingat bocahnya juga memang punya selera yang aneh. Agak abu-abu bagi saya. Bisa jadi dia bukan homoseksual dan hanya Conor.

Sewaktu Ned bertengkar dengan Conor di depan anak-anak rugbi juga, Ned meminta Conor untuk "Tell it, Conor. Tell them," yang mana ternyata dia hanya ingin Conor mengakui bahwa Ned adalah temannya. Bahwa mereka berteman. Bukan untuk meng-encourage Conor untuk coming out di hadapan anak-anak rugbi.

Terlepas dari itu, saya suka relasi Conor dan Ned. Mereka gemas! Lucu. Apalagi ketika mereka menghabiskan waktu bareng di ruangan yang penuh kaset jadul itu. Suka juga cara mereka saling menatap ketika berbagi cerita. Aduh maaf, tapi saya benar-benar ... such a sucker (bingung bagaimana bahasa Indonesianya) untuk penyampaian emosi melalui mata.

Lucu banget ketika Conor mengajak Ned untuk menonton pertandingannya, atau reaksinya yang cuma bisa terkekeh pasrah ketika Ned mengoyak kantong kemejanya. 


source: wattpad.com


source: aminoapps.com



Super lucu ketika mereka gitaran bareng dan bagaimana Ned ngelihatin Conor kayak nggak percaya gitu setelah malam sebelumnya dia mendapati Conor mengunjungi gay bar.



source: netflix.com



Omong-omong, saya jadi kepikiran lagi mengenai saat Conor mendatangi ruangan Mr.Walter (Kepala Sekolah) untuk bertanya apakah ada kamar lain untuknya (dengan kata lain; dia tidak ingin bersama Ned). Tepat setelah Weasel mengolok-olok bahwa dia bisa kena AIDS jika sekamar dengan Ned. Mr. Walter kemudian bertanya alasan Conor ingin bertukar ruang dan Conor hanya bisa terbata-bata menjawab, "... it can be ... it can be ..."

Mr. Walter: "It can be what?"

Conor: *silent*

Conor in his mind: It can be me attacking him other way around, Sir---HAHAHAH oke saya halu.

Saya tahu kalau Conor hanya ingin mengantisipasi karena ketakutan jika harus menghadapi humor (atau, ya, fakta) menyebar di sekolah kalau dia adalah gay. Hanya saja respon Mr. Walter setelahnya juga agak ambigu. Dia bilang, "Go back to your room, Conor. Good man." Maksud saya, what is that 'good man' for though? Good man for restraining himself might be, no? 

Ehe nevermind

Ini saya cuma lagi ngebadut, karena saya juga tidak familiar dengan bahasa Inggrisnya orang Irlandia.

Yap, intinya Ned benar-benar menghargai pertemanannya dengan Conor sampai-sampai hanya karena bergaul dengan Conor ia akhirnya melupakan keinginannya untuk dikeluarkan dari sekolah dan merasa menikmati masa SMA-nya. Itulah sebabnya ketika Conor tidak muncul untuk pementasan duet gitar mereka, Ned merasa patah hati. Dalam konteks pertemanan.

Karena di samping segala bacotan saya tentang betapa gemasnya relasi Conor dan Ned, mereka sebenarnya tidak terlibat romansa di dalam film ini. Mohon maaf kalau ada yang mengharapkan adegan ciuman. Seperti yang saya bilang sebelumnya, saya bahkan ragu Ned menyukai laki-laki atau tidak. Meski saya merasa kalau Conor masih punya kemungkinan untuk menaruh rasa kepada Ned (judging by how he stare down, gazing at the gingerhead, in clear adoration). Haha. Halu sisen dua.

Film "Handsome Devil" ini memang tidak berfokus pada gay relationship. Katanya kalau pun ada dua orang karakter gay di dalam sebuah film bukan berarti mereka harus pacaran, begitulah. Film ini lebih menyorot kepada self-accepting juga mengajarkan untuk tidak menghakimi orang yang 'berbeda'. Ketika Ned ketahuan memplagiasi lirik lagu jadul untuk tugas esainya, Mr. Sherry berkata bahwa, "Never ever used a borrowed voice," dan saya rasa pesan moral utama dalam film ini bisa dijelaskan dalam satu kalimat tersebut. Jangan pernah menjadi orang yang bukan diri kita sendiri.

Dan saya bersorak heboh ketika pada akhirnya seisi tim rugbi memilih untuk memihak Conor dan Ned alih-alih Pascal, pelatih mereka yang arogan dan toksik maskulin.

Omong-omong (lagi), kalau melihat side profile-nya Conor a.k.a Nicholas Galitzine dan cara dia ngomong (beberapa kali) saya kadang suka teringat sama Simon Woods ketika main sebagai Octavian di serial "Rome"-nya HBO. Ada satu adegan ketika Conor ngomong yang membuat saya kayak deja vu dan teringat sama dialognya Octavian yang, "The purpose of the battle is to remain alive. They did not, I did." Cara berkedip dan gerak bibirnya agak ... familiar. Oh iya, dan demi apa pun, saya bahkan baru tahu kalau Simon Woods juga bagian dari queer people dan menikah dengan seorang desainer fesyen laki-laki---oke, cukup out of topic-nya.

Pokoknya saya sangat merekomendasikan "Handsome Devil" untuk ditonton kalau kalian suka segala sesuatu yang berbau male to male bonding/relationship. 8.5/10 karena kapal saya tidak berlayar hahah. ((Rating-an macam apa ini)).

Terakhir, saya mau mendendangkan puja-puji untuk karakter favorit saya: Victor si kapten rugbi yang super keren, dewasa, budiman, dan selalu bertindak berdasarkan akal sehat. 


source: pinterest.com


Dia selalu jadi orang yang menarik ataupun menahan Weasel ketika mencoba mencari masalah dengan Ned. Dia juga jadi orang yang pertama kali berani menyahut balik kepada Pascal supaya mengakui kalau tim mereka tidak optimal tanpa kehadiran Conor. Saya juga ngakak sekali ketika orang pertama yang diberi laporan oleh Victor ketika mendapati Conor menghilang adalah Mr.Walter alih-alih Pascal. Seolah menunjukkan betapa tidak kompetennya Pascal. 10/10 untuk Victor. Best boy!





   

Komentar

Postingan Populer