Vanilla

—●    VANILLA   ●—

© Abiguellix


Sebuah bagian terpisah dari "Cliche(s)"

[!] Cerita ini tidak termasuk ke dalam alur sah "Cliche(s)"


Alert : This part contains mature content. Please consider this before you continue to read.

--do not copy or plagiarize this work--


Selamat membaca.


________________________



Kurnia hanya ingin main GTA V di PS4. Dan si Aristo sialan itu selalu mengambil keuntungan dari setiap keadaan. 

"Hmm ... lo harus main sambil gue pangku."

"Ha? Edan lo. Kenapa harus gitu?"

"Biar romantis?" Alis Aristo terangkat main-main. Dia tidak mungkin mengatakan kalau ia sudah lama berfantasi tentang hal semacam itu.

Kurnia terpaksa mengiyakan. Awalnya ia pikir hal itu cuma masalah kecil, sampai akhirnya sekarang ia cuma bisa misuh-misuh. Aristo benar-benar mengganggunya saat bermain.

Terkadang pemuda itu merampas controller di tangan Kurnia untuk memberi panduan.

"Gue tahu di mana posisi strip clubnya. Nggak perlu nandain peta segala. Sini gue yang setirin."

Atau terkadang juga menyandarkan dagu di bahu Kurnia.

Kurnia mendengus sebal. Tanpa sadar bibirnya sudah manyun. Aristo membuatnya merasa tidak bebas.

"Ini. Udah sampai."

Kurnia menarik controller yang akhirnya dikembalikan Aristo padanya. Ia menatap bangunan yang tampil di layar televisi. Ada lempengan emas berbentuk kepala kuda bertanduk dengan tulisan Vanilla Unicorn di bawahnya. Eksterior bangunan dikelilingi oleh lampu neon berwarna merah muda.

Mengabaikan rambut Aristo yang membuat lehernya geli, Kurnia kembali fokus pada game. Jempolnya menekan tuas, menggerakkan protagonis game-nya ke arah pintu masuk.

"Woah."

Mata Kurnia berbinar ketika interior klub sudah tampil di layar. Perhatiannya langsung tersita pada penari tiang. 

Aristo tersenyum setengah mengejek mendapati reaksi bocah itu. "Lo beneran nggak pernah main GTA V? Ke mana aja lo sama teman-teman lo?"

"Berisik," desis Kurnia jengkel.

Senyum Aristo belum luntur, apalagi ketika ia melihat Kurnia tampak mengarahkan player-nya ke dekat panggung dan langsung melaksanakan instruksi press X to toss a dollar, membuat penari tiang semakin melancarkan gerakan erotis.

"Dasar horni."

Kurnia mendengus.

"Ngomong-ngomong lo bisa ask for a private dance."

"Gue tahu. Di GTA IV juga ada kali. San Andreas juga ada," balas Kurnia malas. "Dan menurut gue pole dance yang di GTA IV lebih hot."

Aristo mengedik. "Yeah, gue menghormati perbedaan selera." Pemuda itu secara tiba-tiba mengambil kembali game controller dari tangan Kurnia—membuat bocah itu menggerutu. Aristo lalu menggerakkan tuas dan mencari stripper untuk request private dance.

Kurnia hanya menyaksikan protagonisnya yang digiring ke sebuah ruangan oleh seorang wanita berambut cokelat panjang dengan korset ungu neon. Kemudian—


"Fuck, beneran topless."


Mata Kurnia melebar dan tidak bisa lepas dari layar televisi.

Aristo tertawa simpel mendengarnya. "Namanya Sapphire. Gue paling suka dia dari semua penari klub di sini."

Namun Kurnia tampak tidak mengacuhkan ucapan Aristo itu. Atau mungkin bocah itu tidak sengaja melewatkannya karena ia terlalu fokus memperhatikan lenggok pinggul sang stripper

Kurnia memang pernah mendengar dari temannya bagaimana kerennya GTA V, dari segi grafis, kerealistisan, detil, dan hal-hal nakal yang bisa dilakukan. Dari dulu Kurnia tertarik ingin melihat gameplay-nya di YouTube tetapi ia selalu lupa.

Sementara Aristo tampak tidak terlalu tertarik untuk memperhatikan proses berlangsungnya tarian kotor itu. Lagipula dia sudah cukup sering melihatnya. Pemuda itu hanya sibuk mengerjai area perpotongan leher dan bahu Kurnia. 

Kurnia bergerak gelisah oleh rangsangan dari video game ditambah dengan perasaan geli karena Aristo tampaknya mengendus bahunya. Sesekali menghirup dalam-dalam. Sialan, ini ...

"Jangan banyak bergerak Kurnia—shit." Aristo menggeram halus.

Kurnia merinding merasakan gundukan di bawah bokongnya. "L-lo—nggak mungkin..."

"Bisa lo rasain, huh." Aristo menyentuhkan nafasnya ke ceruk leher bocah itu. Lalu mulai berani mendaki tulang leher itu dengan kecupan. "Gara-gara lo sih..."

"Gue cuma—gue bahkan nggak melakukan apapun." Kurnia berusaha menahan jemari panjang yang sedang mengelus ujung kausnya—berusaha menyingkap. "Memang dasar otak lo aja yang bawaannya cabul."

Ujung hidung Aristo menyentuh bagian belakang daun telinga Kurnia. 

"Siapa juga yang nggak bakal mikir aneh-aneh kalau cuma berdua di rumah sama seseorang yang dia suka," bisik pemuda itu. Membuat gelenyar menyebar ke seluruh kulit Kurnia.

Kurnia berusaha mengendalikan kegugupannya. Anak itu tertawa, kemudian menolehkan setengah wajahnya ke belakang supaya Aristo dapat melihat ekspresi meremehkannya.  

"Baru gini aja lo udah ngeras. Gimana lagi kalo gue striptease di depan lo. Langsung cum di tempat kali lo ya."

"Mungkin."

Kurnia membeku.

Ujung hidung mereka bertemu. Aroma menthol menyerbu indra Kurnia. Pipinya ditabrak nafas halus sampai perlahan merona. 

Sinar mata Aristo meredup, tapi tajam. Kurnia serasa ditikam. Kurnia baru menyadari kalau bulu mata pemuda itu lebih tebal dari kebanyakan orang. Juga matanya yang berwarna cokelat cerah—memproyeksikan keinginan untuk menelanjangi. 

Seringai pemuda itu bertengger samar nyaris tak terlihat saat mengatakan 'mungkin'. Tidak membantah ledekan itu sama sekali. Tapi entah kenapa malah Kurnia yang merasa harga dirinya tercederai.

Sepasang mata cokelat cerah perlahan terpejam. Pemuda SMA itu mulai memiringkan kepalanya, dengan pelan memajukan wajahnya.

Kurnia memundurkan wajahnya sedikit. Nafasnya tertahan. Ia sudah beberapa kali berciuman dengan Aristo, tapi sampai sekarang belum terbiasa.

Tergugu, ia mencoba mengalihkan topik. "Lo...  lo itu blasteran y—umnh..."

Kedua belah bibir mereka keburu bertemu. Kurnia bisa merasakan tangan kokoh Aristo menahan belakang kepalanya, sedikit memainkan rambutnya. Sementara tangan pemuda itu yang satunya melingkar di pinggang Kurnia dengan posesif.

Kurnia mengerang pelan ketika merasakan lumatan di bibirnya. Batinnya berteriak panik, hal ini jelas tidak akan berakhir dengan sekadar kecupan seperti yang mereka lakukan sebelum-sebelumnya.

Aristo melepas ciumannya, membuat Kurnia bernafas lega. Akan tetapi hanya untuk mendapati bahwa pemuda itu kembali menyatukan bibir mereka. Dan kali ini pemuda itu berhasil melesakkan lidahnya ke dalam karena status defenseless Kurnia.

Kurnia menahan erangannya ketika lidah itu mengobrak-abrik seisi mulutnya. Tidak mau kalah, ia melakukan serangan balik dengan membelitkan lidahnya. Ini perang. Sayang sekali Aristo malah semakin bergairah.

"Ungh..."

Kurnia berusaha mendorong dada Aristo. Pemuda itu mengerti dan segera menyudahi ciumannya.

Kurnia meraup oksigen dan segera beranjak dari pangkuan Aristo. Ia melompat menjauh hingga jatuh terduduk di lantai, lalu berbalik. Menatap Aristo tak percaya. 

"Lo sering nyewa PSK ya?!" serunya. Skill ciuman begitu nggak mungkin didapat dari modal nonton doang.

Tangan bocah itu langsung berusaha menutupi bibirnya yang merah membengkak, ketika menyadari kalau pandangan Aristo menuju ke situ.

Aristo nyengir. Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih santai. "Lo nggak akan percaya kalau gue cerita gimana sengitnya perebutan posisi 'atas' yang gue sama Rayan lakukan dulu."

Oke. Kurnia sudah pernah mendengar hubungan masa lalu Aristo yang absurd itu. Hanya saja ia tidak menyangka kalau Aristo dan Rayan sudah berani sampai pada tahap seperti itu.

Aristo terkekeh ketika melihat wajah syok Kurnia. "Hei, cuma sebatas itu doang. Gue nggak pernah go-all-the-way sama Rayan. Nggak kepengen juga. Jadi nggak perlu cemburu."

"Gue bukan cemburu, bego," sanggah Kurnia kesal. "Gue cuma merasa ... posisi gue ... terancam."

Aristo terbahak. "Posisi yang mana?"

"Posisi yang..." Kurnia tak sanggup melanjutkan. Rona merah menjalari pipinya. 

Anak itu tiba-tiba bangkit berdiri dan berjalan cepat menuju pintu. 

Sayangnya ia kalah cepat dengan Aristo. Pemuda itu sigap melompat dan langsung menahan pintu ketika tangan Kurnia sudah meraih gagang pintu.

"G-geser," ucap Kurnia gugup. Matanya memandang lurus pada pintu. "Gue mau ke kamar mandi."

Aristo tidak pernah tidak terhibur ketika Kurnia sudah mulai gagu dan membuat sikap cocky-nya luntur seperti ini.

Pemuda itu tersenyum miring. "Gue punya kamar mandi di dalam kamar gue, lihat?" Ia mengarahkan dagunya pada sebuah pintu aluminium dengan kaca blur yang terletak satu meter di sampingnya.

Kurnia menelan ludah. 

"O-oke."

Anak itu hendak bergerak ke arah kamar mandi yang ditunjuk Aristo, tetapi pemuda itu mendadak menyudutkannya ke daun pintu.


"Oi—"


Aristo menunduk, menelusupkan kepalanya ke  area rambut di tengkuk Kurnia untuk menghirup aroma shampo anak itu.

"Udah, di sini aja. Biar gue bantu lo ngurusin ini, oke?" bisiknya.

Kurnia berjengit ketika telapak tangan Aristo menyelip ke antara selangkangannya.

"To..." Kurnia berusaha menahan pergelangan tangan pemuda itu.

"Nggak apa-apa, gue nggak keberatan."

"Lo yang dasar niat—iya."

Kurnia bisa merasakan seringai Aristo ketika bibir pemuda itu menempel di bahunya—mengecup pelan.

U-ugh

Ketika pegangan Kurnia pada pergelangan tangannya tidak kokoh lagi, Aristo kembali melanjutkan kegiatannya di bawah. Ia menyentuh area genital itu. Masih setengah bangun, sebenarnya.

Kurnia semakin terengah ketika ia menyadari pinggang celananya perlahan diturunkan.

Celana karet Kurnia resmi melorot jatuh ke lantai. Kali ini tangan Aristo mengelus paha dalamnya. Kurnia menggigit bibirnya supaya tidak mengeluarkan suara aneh.

Aristo bisa merasakan kaki Kurnia yang bergetar hebat. Manis sekali. Ini pasti pertama kalinya bagi bocah itu. 

Namun Aristo juga sama. Ini pertama kalinya dia sampai seintim ini dengan seseorang. Aroma Kurnia membuat pemuda itu berdebar menyenangkan.

Aristo menarik sebelah lengan baju Kurnia supaya turun dan mengekspos lebih banyak yang ingin dilihatnya. 

Kepala pemuda itu turun menuju tulang selangka yang tampak timbul. Ia mengecupnya dalam lalu menggigit pelan.

"A-ah ... nnh."

Aristo menarik kepalanya dan kembali menghadapkan wajahnya pada Kurnia. Ibu jari pemuda itu memaksa masuk ke sela bibir Kurnia, berusaha membuka rahang anak itu.

"Jangan digigit."

Gue mau dengar.

Kurnia menggeleng. Rona merah di pipinya kini tampak lebih jelas.

Tidak menyerah, Aristo menelusupkan tangannya masuk ke celana dalam Kurnia. Menyentuh ujung ereksi bocah itu.

Kurnia kembali mendesah tertahan. Bocah itu mendelik  lalu menginjak kaki Aristo. Aristo mengaduh diselingi tawa.

"Lo harus mempertimbangkan fakta kalau gue masih SMP, " ucap Kurnia. Suaranya sudah parau.

"Gue bukan mau memperkosa lo, Kurnia," balas Aristo. "Cuma mau bantu meredakan ini." 

"Tapi rasanya aneh. Rasanya aneh kalau dipegang orang lain—ah."

Kurnia menutup bibirnya dengan lengan seraya mengumpat dalam hati.

Aristo semakin meningkatkan intensitas remasannya. Membuat kepala Kurnia berkabut.

Pemuda itu kemudian tiba-tiba secara drastis melambatkan gerakan tangannya. Ia menyeringai samar menikmati wajah Kurnia yang terengah-engah dan tampak frustasi.

"Tai lo, To."

Kurnia sedikit memalingkan wajahnya ke samping. Alisnya tertaut merasakan jari Aristo yang dengan lembut melingkari ujung barang privatnya. Menyiksa. Ia harus kembali mengingatkan diri kalau pemuda menyebalkan ini selalu senang mengusilinya.

"Lo—udah. Minggir." Kurnia dengan lemah berusaha menepis tangan Aristo. "Biar gue aja yang ngurus sendiri."

Tangan Kurnia turun ke selangkangannya, tetapi Aristo segera mencegahnya. Pemuda itu menahan kedua tangan Kurnia di atas kepala. Kurnia berusaha memberontak, tetapi ia langsung mengerang ketika Aristo kembali menekan ereksinya.

Aristo memagut bibir Kurnia. Membombardir rongga mulut anak itu. Sementara tangannya di bawah tetap menari liar.

Panas. Rasanya panas. Peluh mulai muncul pada pangkal rambut di dahi Kurnia.

Kurnia meremas kaus Aristo. Shit, gue kabur. Pikiran Kurnia rasanya melayang tak tentu. Mulutnya hanya bisa mengeluarkan desah tertahan. 

Aristo sendiri menikmati pendengarannya. Kurnia yang tidak berdaya benar-benar merangsangnya.

"U-udah, To. Gue mau kelu—aah..."

Tubuh Kurnia menggelinjang. Kepalanya mendongak ke plafon kamar. Aristo kemudian merasakan substansi kental membasahi telapak tangannya.

Nafas Kurnia tersenggal-senggal. Remasan tangannya di kaus Aristo mengendur. Kemudian anak itu merosotkan tubuhnya ke lantai. Ia menekuk kedua kakinya dan membenamkan kepalanya di antara kedua lututnya. Tampak depresi.

Aristo berjalan menuju meja untuk mencari tisu, kemudian membersihkan tangannya seadanya. 

Pemuda itu ia berjongkok di depan Kurnia dan tertawa pelan. "Kenapa?" tanyanya sambil jemarinya menyusuri helai rambut bocah itu.

Aristo bisa menangkap pergerakan menggeleng pada kepala Kurnia yang masih menumpu pada lutut itu.

"Gue merasa aneh." Kepala Kurnia perlahan mendongak pada Aristo.

Alis Aristo terangkat. "Lo nggak suka?" tanyanya dengan suara yang seperti berasal dari dasar tenggorokannya. Pasalnya pemuda itu berusaha mengabaikan ereksinya sendiri di tengah-tengah pemandangan Kurnia yang tampak menggemaskan.

"B-bukan sih," bantah Kurnia malu. "Cuma aneh aja."

"Itu wajar." Aristo menyodorkan beberapa helai tisu pada Kurnia. Lalu ia berdiri. "Sorry kalau gue rada maksa tadi."

"Lo baru bilang sorry setelah selesai mencabuli. Sangat mulia," dengus Kurnia seraya membersihkan miliknya.

Aristo tertawa lagi. "Lo merasa tercabuli?"

Kurnia melengos. Namun sesaat kemudian anak itu terdiam ketika matanya mendapati tonjolan di selangkangan Aristo.

Pipi anak itu perlahan memanas. 

"H-hei. Butuh bantuan untuk itu?"

Aristo menoleh dan mendapati Kurnia menunjuk kejantanannya. Keningnya mengerut samar. "Lo mau ngasih gue blowjob?"

"Enak aja. Bukan—"

"Kalau pakai tangan sih nggak usah," potong Aristo. "Gue urus sendiri aja."

"Anjir. Lo sendiri tadi?" ucap Kurnia tidak terima. Tangannya meremas tisu kesal. Bocah itu bangkit berdiri lalu membenarkan celananya.

Aristo menyeringai menjengkelkan. "Atau kalau lo mau pakai—"


"Apa."


"—anal."


"Fuck."


Kurnia merinding. Ia memang pernah mendengar dari teman-temannya—dalam salah satu obrolan seks mereka—kalau dua laki-laki melakukannya melalui anus.

"L-lo tahu yang begituan?"

"Sedikit. Gue pernah nonton gayporn sih."


Sepak terjang Aristo memang beda.


"Gue bercanda, elah." Aristo tersenyum geli melihat tampang Kurnia. "Nggak mungkin gue ngajak lo begituan sekarang."

Kurnia mendelik. "Ya iya. Sempat aja lo serius mau nganal-in, gue tendang burung lo sampe impoten terus gue kabur."

"Bahasa, oi," tegur Aristo setengah terbahak.

Kurnia mendengus tidak peduli. "Jadi ... lo nggak perlu?" Tangannya dengan nakal menyentuh gundukan di celana Aristo.

Aristo mengerang sambil membisikkan umpatan. Ia menjauhkan tangan Kurnia. "Jangan mancing, Kur," bisiknya berat.

Menyadari bahaya, Kurnia segera menarik tangannya menjauh. 

"Gue ke kamar kamar mandi dulu, oke?"


Dasar sialan, pikir bocah itu.


"Kalau gitu gue titip ini." Kurnia dengan seenaknya menyelipkan gumpalan tisu bekasnya ke tangan Aristo. "Di kamar mandi ada tempat sampah kan."

Aristo mendecih. Sempat mengancungkan jari tengah sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.

.

.

.

F i n.

________________________


A/n : My first lemon lol. Feel free to criticize this piece and submit your comment below.


Komentar

  1. TAHU GAK? Abis ini saya ada UPRAK Agama... Ya maafkan, gua emang murid bangsat 😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ampun, sebelum uprak agama nimbun dosa dulu :v

      Hapus
  2. i need more scene like these :")

    BalasHapus
  3. Berharap ada eps w nya wkk

    BalasHapus
  4. Berharap ada lanjutan cerita aristo dan kurnia🥺

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer