Subteks

 


Halo manteman, kali ini saya nulis entri pendek untuk membahas satu hal yang mungkin pernah kalian dengar (tapi mungkin nggak terlalu kalian ingat), yaitu; subteks. Atau dalam bahasa Inggrisnya: subtext.

Sebenarnya saya udah lama pengen bahas hal ini tapi baru menemukan istilah "subteks" itu sendiri belakangan ini. Ya, selama ini ternyata saya cukup sering main-main dengan subteks di dalam tulisan-tulisan saya tanpa tahu nama panggilan doi.

Jadi entri ini ditulis sebagai alibi saya buat para pembaca yang mungkin pernah geram dan geregetan dengan cara saya menulis, tapi berakhir cuma bisa pasrah dan lanjut membaca karena nggak ada pilihan wkwkw. (Atau ada juga sih yang jadi meninggalkan tulisan saya gara-gara ini).

But it's totally okay. It's just a matter of preference. Selera orang macam-macam. Dan di sini saya cuma ingin menjelaskan sedikit (sekaligus membela diri) bahwa saya melakukan itu bukan karena sengaja mau menyiksa pembaca, gais. Percayalah.




Oke, harus diakui kalau menguji kesabaran pembaca itu juga seru. ((Abu-abu tanpa kepastian ๐Ÿ˜‚)). Saya suka ketawa-ketawa kalau baca komentar kayak gini. Tapi serius niat utamanya jauh lebih mulia dari itu kok (affh iya).




Wkwkwkwkwk. 

Ada beberapa komentar lain di beberapa cerita lain juga yang masih bisa saya ingat, cuma saya udah lupa di bagian mana jadi nggak bisa kasih screenshot-nya. Kayak di "Cliche(s)" dulu ingat pernah ada yang komen semacam dia suka ceritanya "tapi kelamaan" dan dia nggak tahan jadinya cabut. Atau di "Snacking" yang ... well, ya ๐Ÿ˜‚

Oh iya, subteks jelas beda konsep sama slow-burn. Tapi saya sih menilai kalau komentar-komentar ini frustrasi terhadap dua-duanya yang udah keaduk-aduk dalam cerita wkwkwkwk.




(Maaf yeh, thank you for putting up with me wkwkwk.)

Saya cukup sering pakai subteks di cerita saya, tapi yang paling kerasa itu memang di "Lenggara". Dan "Aitreya" juga. Jadi semoga aja pembaca kedua cerita tersebut banyak yang nyasar ke artikel ini ya.

Dan sekarang, mari kita bahas lebih lanjut soal si subteks ini. Dan alasan kenapa saya demen menggunakannya di tulisan-tulisan saya.



Apa itu subteks?

sub·text
/หˆsษ™bหŒtekst/
noun
  1. underlying massage or meaning conveyed indirectly through context, tone, or implication rather than explicitly stated. 

  1. [source: examples.com]


Simpelnya sih, "subteks" adalah sesuatu yang tersirat. Yang merupakan lawan dari "teks" yang tersurat/tertulis secara gamblang. Subteks ini bisa menyelip di dalam suasana, di dalam gestur, di dalam tindakan tokoh, dan sebagainya. Atau bahkan di dalam dialog sekalipun juga bisa. Meskipun tokoh bilang A, belum tentu maksudnya memang A. Dan itu bisa kita tahu dari bahasa tubuh si tokoh atau mungkin atmosfer/suasana yang sedang melingkup di situ.


Contoh gampangnya kayak gini:

"Gua baik-baik aja," kata Budi (teks). Tapi air matanya tidak berhenti menetes (subteks).


Atau begini:

Dia menyukai Bima → teks.

Dia tidak akan bisa menatap langsung ke mata Bima. Jarak sedekat ini membuat darah berdesir di wajahnya. Candaan pemuda itu tidak langsung ia tanggapi karena otaknya seketika macet → subteks.



Kenapa menulis menggunakan subteks?

Ada beberapa alasan kenapa orang-orang menulis menggunakan subteks, dan bagi saya sendiri adalah demi hal-hal ini:

  • Memberi ruang buat pembaca berinterpretasi → membangun keterlibatan emosional.
  • Membangun suasana yang lebih bisa "dirasakan".
  • Membuat cerita lebih real.
  • Menghindari exposition dump. Apa itu exposition dump? Ini bisa jadi entri sendiri sebenarnya, tapi paling saya kasih penjelasan singkatnya aja ya. Exposition dump terjadi ketika sebuah tulisan/narasi menge-drop terlalu banyak detail/informasi (bisa soal world-building cerita, background tokoh, dsb) secara sekaligus. Yang bisa membuat cerita terasa tidak mengalir secara natural.
  • Dan terutama karena saya kebanyakan menulis cerita boyslove lokal, di mana dalam konteks budaya kita juga bukan yang terlalu open terhadap hubungan sesama jenis, subteks ini akan sangat membantu membangun atmosfer yang lebih ngena.

Jadi begitulah alasannya. Yang jelas, sama sekali bukan berniat untuk mempersulit pembaca heheh. Cuma ya, subteks ini baru valid ketika orang yang melihat/membaca menangkap maksudnya. Dan saya selalu percaya-percaya aja sih kalau para pembaca saya bisa menangkap sendiri berbagai underlying tone yang saya tulis di dalam cerita-cerita saya.

Ngmong-ngomong, membahas subteks jadi membuat saya teringat sama salah satu tweet yang pernah saya baca. Dia mengkritik salah satu film layar lebar Indonesia yang saat itu sedang booming, isinya begini:




Disclaimer bahwa saya belum pernah menonton film-nya jadi saya belum bisa beropini apa saya setuju dengan tweet ini atau tidak. Tapi ada beberapa hal menarik yang bisa digarisbawahi di sana, yang bisa dikaitkan dengan hal-hal yang sudah saya jelaskan sebelumnya, yaitu soal "over-explaining" yang bisa disamakan dengan exposition dump. Kemudian ada juga "as if the audiences don't have the space or the capacity" berarti dia menganggap kalau film ini tidak cukup memberi ruang dan tidak cukup percaya kepada audiens-nya sendiri untuk memproses storyline-nya. 

Ditutup dengan "appreciate subtelty and implied emotions" dan lengkaplah sudah.

Jadi kesimpulannya? Orang ini kemungkinan menyukai subteks haha.

Memang ujung-ujungnya jatuh ke selera juga sih ini. Karena subteks tujuannya memang begitu. Dipakai untuk menghindari kesan "terlalu menyuapi" pembaca/audiens. Saya bukan bilang kalau narasi gamblang itu jelek, karena memang bakal ada waktunya untuk menyatakan. Dan ada waktunya juga untuk membiarkan.

Tapi percayalah ketika ada pembaca yang kemudian berhasil mengulik detail-detail yang sudah kita susun sebagai penulis, itu rasanya senang bukan main.




Bagaimana cara memahami subteks?

Sebenarnya ini lebih ke tugas penulis/storyteller sih.

Dan sejauh yang saya lihat, kalian (pembaca) juga ngerti-ngerti aja sebenarnya makna-makna implisit ini. Cuma kalian suka kesal dan masih merasa perlu afirmasi lebih lanjut wkwkw. 

Tapi kalau memang ada yang kesulitan menangkap subteks dalam narasi, mungkin bisa coba begini aja:

  • Dibaca pelan-pelan. Santai aja.
  • Jangan mengekspektasikan apa-apa. Konsumsi saja apa yang disajikan.
  • Sabar ๐Ÿ˜‚
  • Dan mungkin kapan-kapan kalau luang, boleh dibaca ulang ;)

Sejumlah tips yang kayaknya nggak berguna-berguna amat. Tapi ya sudah lah ya.

Mungkin saya juga bisa ambil salah satu contoh dari tulisan saya sendiri untuk dibahas kali ya. Saya ambil dari "Lenggara" aja, karena setelah saya baca-baca lagi, "Lenggara" itu lautan subteks rupanya. Saya coba kasih satu buat di-breakdown:


Keesokan paginya, Yose baru tahu kalau mereka sedang berada di kecamatan yang namanya Loreng-Loreng. Ia hanya tahu hal itu ketika mengecek map berhubung, untuk beberapa alasan, Hestu meminta supaya Yose saja yang menyetirkan mereka pulang. Pagi ini pemuda itu mengeluh tentang suara-suara aneh yang ia dengar datang dari luar jendela penginapan sekitar jam dua dini hari ke atas. Ringkikan samar di sela-sela suara anjing kampung yang melolong hampir seperti menangis. Yose hanya tertawa pendek menanggapinya, karena ia juga mendengar hal yang serupa. Namun, ia sudah biasa mengalami berbagai hal semacam itu selama pengalamannya menginap di mess-mess perkebunan. Hanya saja, hal itu setidaknya membuat Yose tahu kalau mereka berdua sama-sama kesulitan untuk tidur malam tadi.



Artinya, mereka berdua sama-sama cukup gugup karena obrolan mereka tadi malam (mengacu ke scene sebelumnya di ceritanya, di mana Hestu curiga kalau Yose itu tidak suka perempuan). Mereka sama-sama conscious, yang bikin mereka jadi susah tidur bahkan sampai dini hari di mana suara-suara aneh mulai muncul. Jadi, poin utamaya di sini Hestu bukan susah tidur karena suara-suara aneh itu sendiri, tapi karena percakapannya tadi malam dengan Yose.

Cuma dia menggunakan suara-suara aneh itu sebagai alasan, karena dia tidak berani untuk mengatakan alasan yang sebenarnya.

Woy Author, lo mau jelasin satu poin aja kenapa harus ngulur-ngulur sampai satu paragraf begitu dah?

Yah, ini demi  ̶w̶o̶r̶d̶c̶o̶u̶n̶t̶ ̶ feeling-nya sih biar kerasa. Membangun suasana sesuai dengan latar tempat mereka juga, biar lebih hidup, lebih kontekstual (balik lagi ke poin-poin alasan tadi).

Jadi begitu ya tujuannya saya pakai subteks di cerita. Kebanyakan memang demi rasa.

Dan jujur saja, subteks ini bekerja dengan sangat lezat bersama slow-burn dan double meaning :9

Mereka trio favorit saya. Kudos!





Komentar

Postingan Populer